TOBAT
1. Pengertian
Tobat
Kata taubat berasal dari bahasa Arab at-taubah,
yang kata kerjanya taaba, yatuubu yang berarti rujuk atau
kembali.
Menurut istilah yang dikemukakan ulama, pengertian taubat ialah :
1). Kembali
dari kemaksiatan kepada ketaatan atau kembali dari jalan yang jauh dari Allah
kepada jalan yang lebih dekat kepada Allah.
2). Membersihkan
hati dari segala dosa
3). Meninggalkan
keinginan untuk melakukan kejahatan, seperti yang pernah dilakukan dengan
mengagungkan nama Allah dan menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya.
Hukum bertaubat adalah
wajib bagi setiap muslim atau muslimah yang sudah mukallaf (balig dan berakal).
Allah SWT berfirman :
Artinya : “ ... dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS.
An-Nuur ; 31)
2. Syarat Bertaubat
Taubat baru dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila telah memenuhi
syarat yang telah ditentukan. Bila dosa itu terhadap Allah SWT, maka ayat
taubatnya ada tiga macam, yaitu:
1) Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat (nadam).
2) Meninggalkan perbuatan maksiat itu.
3) Bertekad dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi lagi perbuatan
maksiat itu
Namun, bila dosanya terhadap sesama manusia, maka
syarat taubatnya selain yang tiga macam tersebut ditambah dengan dua syarat
lagi yaitu:
1) Meminta maaf terhadap orang yang telah dizalimi
(dianiaya) atau dirugikan.
2) Mengganti kerugian setimbang dengan kerugian yang
dialaminya, akibat perbuatan zalim itu atau minta kerelaannya.
Dosa terhadap sesama
manusia akibat perbuatan zalim itu hendaknya diselesaikan di dunia ini juga.
Karena kalau tidak, pelaku dosanya di akhirat termasuk orang yang merugi bahkan
celaka.
Apabila seseorang telah
terlanjur bertaubat dosa, kemudian bertaubat dengan sebenar-benarnya, tentu ia
akan memperoleh banyak hikmah dan manfaat. Tentu saja taubat yang dilakukan
harus memenuhi syarat-syarat taubat seperti tersebut. Adapun hikmah dan manfaat
yang di peroleh dari pertaubatan itu antara lain: dosanya diampuni, memperoleh
rahmat Allah, dan bimbingan untuk masuk surga. Terkait dengan taubat ini Allah
SWT berfirman:
Artinya :
“wahai
orang-orang yang beriman, bertubatlah kepada Allah dengan taubat semurni-murninya.
Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu
kedalam surga.” (Q.S.At-Tahrim,66: 8)
Perlu pula diketahui dan disadari oleh setiap orang
yang telah terlanjur berbuat dosa, bahwa seorang yang membaca istigfar (mohon ampunan dosa kepada
Alloh), tetapi terus menerus berbuat doasa, maka ia akan dianggap telah
mengolok-olok Tuhannya. Demikian juga seorang yang berbuat dosa, dan baru
bertaubat ketika “sakratul maut” (nyawanya yang sudah berada di tenggorokan)
maka taubatnya tidak akan diterima Allah.
Selain pelaku dosa itu harus betul-betul
meninggalkan perbuatan dosanya (taubt
nasuha), hendaknya ia juga terus-menerus melakukan perbuatan baik yang
diridai Allah SWT. Allah berfirman:
Artinya :
“Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan yang buruk (dosa) “ (Q.S. Huud, 11:114)
II. RAJA’
1. Pengertian Raja’
Kata Raja () berasal dari bahasa arab yang artinya harapan. Yang dimaksud raja’ pada pembahasan ini ialah mengharapkan keridaan Allah SWT dan rahmat-Nya. Rahmat adalah segala
karunia Allah SWT yang mendatangkan manfaat dan nikmat.
Raja’ termasuk akhlakul
karimah terhadap Allah SWT, yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Muslim (muslimah) yang mengharapkan ampunan
Allah, berarti ia mengakui bahwa Allah itu Maha Pengampun. Muslim (Muslimah)
yang mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat,
berarti ia menyakini bahwa Allah itu Maha pengasih dan Maha Penyayang.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap muslim (muslimah) senantiasa berharap memperoleh
rida dan rahmat Allah, sebagai bukti penghambaan kepada-Nya. Allah SWT telah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar banyak berdoa kepada Allah
SWT, dengan berharap Allah SWT akan mengabulkan doanya. Allah SWT berfirman :
Artinya:
"Berdoalah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu... (Q.S.Al-Mu’min,
40:60)
Kebalikan dari sifat raja’
ialah berputus harapan terhadap rida dan rahmat Allah SWT. Orang berputus
harapan terhadap Allah, berarti ia berprasangka buruk kepada Allah SWT. Yang
hukumanya haram dan merupakan ciri dari orang kafir. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dan jangan
kamu berputus harapan terhadap rahmat Allah, sesungguhnya tidak
berputus harapan terhadap rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Q.S.Yusuf, 12: 87)
Seseorang yang berharap
memperoleh rida dan rahmat Allah SWT, bahagia di dunia dan akhirat tentu harus
berusaha dengan melakukan perbuatan-perbutan yang menyebabkan apa yang
diharapkannya itu terwujud. Jika ia hanya berharap saja dan tidak mau berusaha
itu namanya berangan-angan kosong atau berkhayal yang dalam bahasa arabnya
disebut tamanni.
Seseorang muslim yang
mengharapkan rida Allah SWT, tentu harus berusaha dengan jalan betul-betul
bertakwa pada Allah, sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Allah berfirman:
Artinya:
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Q.S.Al-Ahzab, 33: 21)
Muslim/muslimah yang bersifat raja’ tentu dalam hidupnya akan bersikap
Optimis,dinamis,berfikir kritis, dan mengenal diri dalam mengharap keridaan
Allah SWT, berikut adalah penjelasan ringkas tentang hal tesebut:
1. Optimis
Dalam kamus besar bahasa
indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik
dalam menghadapi segala hal atau persoalan.
Optimis termasuk sifat
terpuji. Sifat optimis seharusnya dimiliki oleh setiap muslim (muslimah).
Seorang muslim (muslimah) yang optimis tentu akan berprasangka baik terhadap
Allah. Ia kan selalu berusaha agar kualitas hidupnya meningkat.
Kebalikan dari sifat
optimis ialah sifat pesimistis. Sifat pesimistis ini seharusnya dijauhi, karena
termasuk dalam sifat tercela. Seseorang yang pesimis dapat di artikan
berprasangka buruk kepada Allah. Ia dalam hidupnya kemungkinan besar tidak akan
memperoleh kemajuan. Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan
memperoleh kegagalan, kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau
berusaha untuk mencobanya.
Muslim (muslimah) yang
bersifat optimistis hendaknya bertawakkal kepada Allah SWT yaitu berusaha
sekuat tenaga untuk meraih apa yang dicita-citakannya, sedangkan hasilnya
diserahkan kapada Allah SWT. Orang yang tawakkal tentu akan memperoleh
pertolongan dari Allah SWT. Allah SWT berfirman :
Artinya:
“Dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S.Ath-Thalaq, 65: 3)
2.
Dinamis
Kata dinamis berasal dari
bahasa belanda dynamisch yang
berarti giat bekerja, tidak mau tinggal
diam, selalu bergerak, terus tumbuh. Seseorang yang berjiwa dinamis, tentu
selama hidupnya, tidak akan diam berpangku tangan. Dia akan terus berusaha
secara sungguh-sungguh, untuk meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih
baik dan lebih maju.
Misalnya :
· Seorang petani akan berusaha agar hasil pertaniannya
meningkat.
· Seorang pedagang akan terus berusaha agar usaha dagangnya
berkembang.
· Seorang pelajar akan meningkatkan kegiatan belajaranya
supaya ilmuanya betambah.
Sikap pelaku dinamis seperti itu sebenarnya sesuai dengan fitrah (pembawaan)
manusia, yang memiliki
kecenderungan untuk meningkat ke arah yang lebih baik. Allah SWT berfirman:
Artinya :
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),” (Q.S.Al-Insyiqaq, 84:19)
Mengacu kepada pengertian dinamis tersebut, jelas bahwa
sikap dinamis termasuk akhlakul karimah, yang seyogyanya
dimiliki dan di amalkan oleh setiap muslim (muslimah). Seorang muslim
(muslimah) yang sudah meraih prestasi baik dalam bidang positif seperti dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang pertanian dan perdagangan serta dalam
bidang ekonomi dan industri, hendaknya berusaha terus meningkatkan prestasinya
ke arah yang lebih baik lagi. Hal itu sesuai dengan suruhan Allah SWT dalam
Al-Qur’an dan anjuran Rasulullah SAW dalam haditsnya. Allah SWT berfirman.
Artinya :
“Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S.Al-Insyirah, 94: 7-8)
Juga Rasulullah SAW bersabda yang artinya:” barang siapa yang amal usahanya lebih baik dari kemarin maka orang
itu termasuk orang yang beruntung, dan jika amal usahanya sama dengan kemarin,
termasuk yang merugi, dan jika amal usahanya lebih buruk dari yang kemarin,
maka orang itu termasuk yang tercela”. (H.R. Tabrany)
Kebalikan dari sifat dinamis adalah sifat statis. Sifat statis seharusnya dijauhi karena termasuk akhlak
tercela yang dapat menghambat kemajuan dan mendatngkan kerugian. Seorang
siswa/siswi yang berperilaku statis biasanya malas belajar dan tidak bergairah
untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan siswa/siswi tersebut
kuallitas ilmunya tidak meningkat, sehingga ia tergolong orang yang merugi bahkan tercela.
3 Berpikir Kritis
Dalam kamus bersar bahasa indonesia di jelaskan, bahwa perpikir krtitis itu
artinya tajam dalam penganalisaan. Bersifat tidak lekas percaya, dan sifat
terlalu berusaha menemukan kelasalahan, kekeliruan atau kekurangan. Orang yang
ahli memberi kjritik atau memperikan pertimbangan apakah sesuatu itu benar atau
salah, tepat atau keliru, sudah lngkap atau masih kurang disebut seorang
kritikus.
Kritik itu ada dua macam
yaitu, yang termasuk akhlak terpuji dan yang tercela. Kritik yang termasuk
akhlak terpuji adalah kritik yang sehat, yang didasari dengan niat ikhlas
karena Allah SWT, tidak menggunakan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, dan
dengan maksud untuk memberi pertolongan kepada orang yang dikritik agar
menyadari kesalahannya, kekeliruannya, dan kekurangan, disertai dengan memberikan
petinjuk tantang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan dan kekurangan
tersebut. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “yang dinamakan orang Islam
adalah orang yang menyelamatkan orang-orang muslim lainnya dari gangguan lidah
dan tangannya, sedang yang dinamakan orang yang hijrah itu adalah orang yang
meninggalkan semua larangan Allah” (H.R.Bukhari,Abu
Dawud dan Nasa’iy)
Kritik yang sehat, seperti
tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tolong menolong yang di perintahkan Allah
SWT untuk dilaksenakan. Allah SWT berfirman yang artinya : “ dan bertolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebijakan dan takwa dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maa-idah, 5:2)
Kritik yang termasuk
akhlak tercela adalah kritik yang merusak, yang tidak didasari niat ikhlas
karena Allah SWT, dengan menggunakan kata-kata keji yang menyakitkan hati dan
tidak disertai memberi petunjuk tentang jalur keluar dari kesalahan,
kekeliruan, dan kekurangan. Kritik mcam ini termasuk akhlak tercela karena
dapat merusak hubungan antara yang mengkritik dan yang dikritik, sehingga
antara mereka saling bermusuhan dan saling dengki, yang sangat dilarang oleh
Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“ janganlah kamu
berdengki-dengkian, jangan putus memutuskan persaudaraan, jangan
benci-membenci, jangan pula belakang membelakangi, dan jadilah kamu hamba Allah
yang bersaudara, sebagaimana telah di perintahkan Allah kepadamu.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
4.
Mengenali Diri Dengan Mengharap Keridaan Allah SWT
Salah satu cara dalam mengharap keridaan Allah SWT ialah berusaha mengenali
diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pepatah yang terkenal di kalangan tasawuf:
Artinya :
“Barang siapa yang
mengenal dirinya tentu akan mengenal Tuhannya.”
Mukmin yang mengenali
dirinya, tentu akan menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Allah, yang harus
selalu tunduk pada ketentuan-ketentuan-Nya (sunnatullah).
Termasuk ke dalam sunatullah antara
lain ia pernah berada di dalam kandungan ibunya, selama kurang lebih 9 bulan, lalu
ia lahir ke dunia dalam keadaan bayi, kemudian berproses menjadi balita,
kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya meninggal dunia.
Apakah setelah meninggal
dunia kehidupan seorang manusia berakhir? Seorang mukmin akan menjawab mantap
penuh keyakinian bahwa meninggal dunia bukan akhir kehidupan, karena setelah
itu manusia akan terus hidup di alam Barzah (Kubur) dan alalu di dalam akhirat.
Mukmin yang mengenali
dirinya akan menyadari bahwa ia hidup karena Allah dan bertujuan untuk
memperoleh keridaan Allah. Mukmin yang ketika di dunianya memperoleh kerdiaan
Allah, tentu di alam kubur dan alam akhiratpun akan memperoleh rida Allah SWT,
ia akan terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dan akan mendapatkan nikmat
kubur serta pahala surga.
Seorang mukmin akan
memperoleh rida Allah SWT, apabila semasa hidupnya di alam dunia betul-betul
berada di jalan yang diridai Allah SWT, yakni betul-betul menghambakan dirinya
hanya kepada-Nya dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Hal ini sesuai dengan
maksud dan tujuan diciptakannya umat manusia yakni semata-mata untuk
menghambakan diri pada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Artinya :
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzaariyaat,51: 56)
Mukmin yang mengenali
dirinya di mana pun dan kapan pun, tentu akan selalu mengadakan instropeksi
apakah dirinya sudah betul-betul menghambakan dirinya kepada AllahSWT? Kalau
sudah, bersyukurlah dan tingkatkan kualitasnya. Kalau belum, kembalilah ke
jalan yang diridai Allah SWT dengan jalan beul-betul bertakwa kepada-Nya.
Mukmin yang selama
hidupnya selalu berada di jalan yang diridhoi Allah SWT dan tatkala meninggal
dunia dalam keadaan bertakwa tentu nyawanya akan di cabut oleh malaikat Izrail
dengan sikap ramah dan tidak menyakitan bahkan akan dipersilahkan pindah
hidupnya dari alam dunia ke alam Barzah
dan dimasukan ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang diridai-Nya serta
memperoleh pahala surga. Allah SWT berfirman yang artinya :
“Hai jiwa yang tenang (nafsu mutamainnah) kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah
hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam suraga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr, 89:27-30)
Post a Comment