Undang-undang
nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
secara tegas menyatakan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga professional
berfungsi meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Profesionalisme guru di Indonesia pada
era globalisasi ini sepertinya masih sulit untuk dicapai.
Zulkifli Agus (2011) mengatakan bahwa masih banyak guru kendatipun sudah mengantongi
sertifikat profesi, belum memahami benar posisinya sebagai tenaga profesional
(Suara Merdeka, 27 Desember 2011; 7 ).
Evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Bojonegoro menemukan 15
guru dari jumlah 3.940 guru SD, SMP, dan SMA/SMK negeri yang bekerja seenaknya
meskipun sudah bersertifikasi (http://edukasi.kompas.com-/read/2010/09/27/13280425/, diakses, 26 Pebruari 2012). Walau-pun demikian
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tetap berusaha keras mentargetkan seluruh
guru sudah harus bersertifikasi profesi pendidik pada tahun 2015 ( Majalah
Guru, 2011; 28).
Adanya permasalahan tersebut
menunjukan bahwa kebijakan sertifikasi guru memiliki derajat penerimaan dan tingkat
keterlaksanaan yang relatif rendah dikalangan guru sebagai sasaran kebijakan. Dan
disisi lain timbul permasalahan dikarenakan kebijakan sertifikasi guru tidak
langsung bersangkut paut dengan kebermaknaan hidup bangsa masa depan (Kompas, 4
Januari 2012; 7). Kebijakan sertifikasi itu sendiri merupakan
instrumen kebijakan pemerintah yang tidak terlepas dari keterkaitan politik
yang pada prakteknya masih menggunakan prinsip-prinsip old public administration (OPA) yang lebih menekankan pada proses administrasi dalam kegiatan
pemerintahan itu hanya dapat menjadi efesien, rutin, dan nonpartisan bila cara
kerja organisasi pemerintahan itu dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai
cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986; 2).
Karakteristik di
atas masih melekat pada lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia pada umumnya,
demikian juga pada kebijakan sertifikasi guru. Dimana guru yang bersertifikasi
harus memenuhi standar yang telah diamanatkan undang-uandang nomor 14 tahun
2005 dan peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2008 yang pada awal pelaksanaannya
membuat kontroversi dan membuat resah kalangan guru, bahkan sampai sekarang
masih terjadi masalah dalam tunjangan profesi (Kompas,
21 Januari 2011; 12).
Kebijakan
sertifikasi guru pada hakekatnya adalah untuk memperbaiki kinerja guru agar
menjadi tenaga pendidik yang profesional dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sertifikasi memiliki kekuatan hukum dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen dibahas dalam pasal 8 yang menegaskan kewajiban sertifikasi
“ Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan
nasional”. Kebijakan
sertifikasi bagi Guru dan Dosen
memang suatu langkah yang strategis untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Secara formal, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menyatakan bahwa guru adalah tenaga profesional. Sebagai tenaga profesional,
guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik S-1 (strata satu) atau D-4
(diploma empat) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya
dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Sertifikasi guru bertujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam
melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan
hasil pemebelajaran (3) meningkatkan kesejahteraan guru, serta (4) meningkatkan
martabat guru, dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Dengan
tujuan sertifikasi tersebut kompetensi profesional guru seharusnya dapat
memberikan kontribusinya dalam mendukung terciptanya kinerja guru yang baik. Karena
kinerja guru sangat penting bagi kepentingan pribadi guru itu sendiri maupun
unit kerja atau organisasinya.
Pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru dan menyelenggarakannya sejak
tahun 2007 hingga sekarang dan akan berlanjut sampai tahun 2015 untuk perbaikan
mutu pendidikan dan kebijakan ini didasarkan pada beberapa permasalahan yang
ada dalam dunia pendidikan khususnya yang berkaitan dengan guru. Banyak hal yang menarik dalam
implementasi kebijakan sertifikasi guru untuk dievaluasi. Dilihat
dari mutu pendidikan, pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Rendahnya
mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari Human Development Index (HDI)
sebagai tolok ukur terhadap perbandingan dari harapan hidup, melek huruf,
pendidikan dan standar hidup untuk semua
negara di dunia. Human Development Index (HDI), 2 Nopember 2011
menyatakan bahwa Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 negara dan HDI
bidang pendidikan, Indonesia masih menunjukan hasil yang belum menggembirakan
menduduki ranking 119 dari 187 negara, sedangkan di Asia Pasifik, Indonesia no
12 dari 21 negara dengan menduduki index
0.584
Pemerintah
berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia agar mampu berdaya saing
International, pemerintah melalui Kementrian
Pendidikan melahirkan visi pembangunan, yaitu Insan Indonesia Cerdas dan
Kompetitif (insan kamil/insan paripurna) 2025 dengan menerapkan Rencana
Strategis, 2005-2010 bertemakan Peningkatan kapasitas dan Moderniasasi, periode
pembangunan 2010-2015 bertemakan Penguatan Pelayanan, 2015-2010 Daya Saing Regional, dan 2020-2025 Daya Saing
International.
Namun demikian
pendidikan yang baik dan unggul, tetap akan tergantung pada mutu yang tercermin
dalam profesionalisme dan kompetensi guru. Berdasarkan data UNESCO dalam laporan
the International Commision on Education
for Twenty-first Century menegaskan bahwa:”memperbaiki mutu pendidikan
pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan
kondisi kerja pada guru, mereka membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan,
karakter personal, prospek professional, dan motivasi yang tepat jika ingin
memenuhi harapan stakeholder pendidikan”(Delor, 1996).
Belum adanya
pengukuran terhadap kinerja guru yang bersertifikasi sebagai Evaluasi Diri
Sekolah (EDS) juga menjadi kendala yang segera harus diimplementasikan. Karena
program EDS setidaknya mengambarkan data-data mendasar tentang 8 standar
nasional sehingga guru yang sudah bersertifikasi pendidik hendaknya menjadi
contoh bagi guru yang lain dan implikasi
terhadap penilaian kinerja guru bersertifikasi bisa saja berupa penundaan atau
penghentian pemberian tunjangan profesi yang hal ini belum ditetapkan dalam
regulasi.
Supardan (2010)
mengatakan bahwa guru harus mempertanggungjawankan empat kompetensi secara profesional
sehingga tunjangan tersebut tidak mubah dan guru yang tidak memenuhi standar,
bukan tidak mungkin juga akan diberhentikan.
Terlepas
dari probelamtika seputar implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, pada
dasarnya implementasi kebijakan ini harus dilakukan dalam konteks organisasi
yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang jelas serta
sumber daya pendukung yang jelas, dilakukan upaya sistematis, sinergis dan
berkesinambungan yang dapat menjamin bahwa setiap guru tetap professional
sesuai standar serta mendapat pengakuan dari international.
Post a Comment