Anak adalah ciptaan Allah yang
diamanatkan kepada kedua orang tuanya untuk diasuh, dididik, dikembangkan
fitroh dan potensi-potensi yang ada pada dirinya sesuai dengan perkembangan
jasmani dan rokhaninya. Kepribadian anak sangat dipengaruhi olrh usaha orang
tuanya dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anakn-anaknya. Orang
tuanyalah yang bertanggung jawab dalam mengisi dan mengukir jiwa raganya sesuai
dengan hukum-hukum syar’i yang telah ditetapkan, karena usaha orang tuanya pula
yang akan mempengaruhi dan menentukan masa depan anaknya kelak.
Keadaan fitroh anak dapat dilihat
pada Qur’an surat Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi: ”Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus pada agama (Allah), tetaplah atas fitroh Allah yang menciptakan
manusia menurut fitroh itu, tidak ada perubahan atas fitroh Allah (itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Ungkapan fitroh anak juga
disampaikan oleh Nabi SAW:
“ Tidaklah anak
yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitroh (kecenderungan kepada tauhid),
maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, atau
Nasrani, atau Majusi” (HR. Muslim dari Abu Hurairoh).
Orang
tua berkewajiban mengembangkan fitroh anak agar tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan hukum –hukum agama dan keajiban orang tua sebagaimana
firman Allah swt: “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” ( QS.
At-Tahrim: 30).
Adapun bentuk-bentuk kewajiban orang tua terhadap
anak sebagai-mana yang dinasehatkan nabi saw adalah sebagai berikut:
“Kewajiban
orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, mendidik dan mengajar-kannya
membaca Al-Qur’an, bere-nang, memanah (ketrampilan) dan tidak memberi nafkah
kecuali dengan baik (Halal dan thoyyibah), dan menikahkan apabila ia sudah
dewasa menurutmu” (HR. Hakim)
6 (Enam) paket di atas adalah satu
kesatuan yang tidak dapat ditawar-tawar kalau kita benar-benar mengaku sebagai
ummatnya nabi Muhammad saw. Dan enam paket tersebut benar-benar telah dijalan-kan
nabi saw dan berhasil dalam mendidik keluarganya.
Ketika
anak seorang manu-sia lahir di dunia, maka kewajiban pertama yang dilaku-kannya
adalah memberi nama yang baik dan diperintahkankan untuk melakukan aqiqoh
(menyembelih hewan) sebagaimana perintah nabi saw dengan perintah wajib
seperti hadits beliau yang berbunyi:
Ma’al ghulaa mi
‘aqiiqotun fa ahriiquu ‘anhu damaan
“Beserta anak
laki-laki itu ada aqiqohnya, karena itu sembelihlah untuk dia” (HR. Bukhori,
Akhmad, Tirmidzi, dll).
Kata “Fa ahriiquu” yang
berarti” sembelihlah” menjadi hukum wajib dalam penyembelihan aqiqoh.
Dan pada hadits yang lain
“ Tiap anak
laki-laki tergadai dengan aqiqohnya” (HR. Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah).
Tetapi sebagiaan lagi berpendapat
bahwa hukum aqiqoh sunah, hal ini berpedoman pada hadits nabi:
“ Barang siapa
suka hendak beraqiqoh untuk anaknya, bolehlah ia perbuat. Untuk anak laki-laki
dua kambing dan untuk putri satu kambing” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Akhmad)
Adapun penyembelihan aqiqoh untuk
anaknya tersebut dilakukan pada hari ke tujuh dari kelahirannya. Sebagaimana hadits
nabi saw:
“... disembelih
(aqiqah) buat anak-anak itu pada hari yang ketu-juhnya” (HR. Tirmidzi, Nasai
dan Ibnu Majah).
Pada riwayat lain menyebutkan:
“ Aqiqah itu
disembelh pada hari yang ke tujuh, ke empat belas atau ke duapuluh satu “(HR.
Baihaqi).
Sebagian ulama berpendapat bahwa
aqiqoh boleh dilakukan sesudah itu sampai usia anak baligh (Sulaiman Rasyid;
1954: 452).
Dengan melihat konteks hadits
tersebut di atas jelaslah bahwa aqiqoh hanya dilakukan pada hari ketujuh, atau
ke empat belas, atau kedua puluh satu dari kelahirannya dan secara ijma boleh
dilakukan hanya sampai usia baligh (15 tahun) dan adapun aqiqohnya nabi saw
dilaksanakan sesudah beliau masuk Islam, hal ini menjadi pengecualian beliau
dan bagi orang-orang muallaf lainnya.
“Telah berkata
Annas: “Sesungguh-nya Rosululloh telah beraqiqoh un-tuk dirinya sesudah jadi
rosul”( HR. Baihaqi) Dengan menjalankan perintah aqiqoh berarti si anak telah bebas
dari rungguhan (gadai) sekali-gus sebagai tanda bersyukur kepada Allah swt. Bersyukur
tidaklah cukup hanya mengucapkan kata “Alham-dulillah” tetapi harus
diikuti de-ngan tindakan konsekuensi
logis dari setiap hamba Allah dalam kehidupan sebagaimana diungkap-kan oleh
Ustadz Abdul Karim, yakni senantiasa menjalankan ibadah baik yang maghdoh
maupun yang goiru maghdoh, karena kita diciptakan Allah adalah untuk beribadah
(QS. Adzariat: 56).
Mendidik anak adalah ibadah, maka didiklah anak sedini mungkin, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sholeh/sholehah dan pondasi pendidikan awal yang baik adalah dimulai dari Ummi (ibu) dalam mendidik anak harus dilandasi dan diyakini bahwa anak-anak adalah ladang subur orang tua yang harus dipelihara agar jangan sampai rusak, karena orang tua akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Ketika terjadi problematika dalam kehidupan, maka tanamkanlah prinsip “Komunikasi” antar anggota keluarga itulah kata “Kunci” yang tepat untuk memecahkan problema dalam rumah tangga.
Mendidik anak adalah ibadah, maka didiklah anak sedini mungkin, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang sholeh/sholehah dan pondasi pendidikan awal yang baik adalah dimulai dari Ummi (ibu) dalam mendidik anak harus dilandasi dan diyakini bahwa anak-anak adalah ladang subur orang tua yang harus dipelihara agar jangan sampai rusak, karena orang tua akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Ketika terjadi problematika dalam kehidupan, maka tanamkanlah prinsip “Komunikasi” antar anggota keluarga itulah kata “Kunci” yang tepat untuk memecahkan problema dalam rumah tangga.
Ustadz juga mengungkapan rasa
prihatinnya terhadap kehidupan zaman akhir ini dengan mencuplik ramalan Ronggo
Warsito yang berbunyi:“Pasar ilang kumandange, Kali ilang kedunge, Wong
wadon ilang wirange” (pasar sudah tidak lagi ramai orang saling berjual
beli, sungai sudah hilang airnya, karena didirikan bangunan di atasnya dan
perempuan sudah hilang rasa malunya).
Sungguh
sangat disayangkan, manusia yang menurut Allah sanggup diamanati sebagai kholifah fil
ardhi, tetapi kebanyakan tidak memeliharanya amanat tersebut, padahal di
bumi Allah telah memberikan kenikmatan yang begitu banyak, seperti gunung,
jalan, langit, pergantian malam dan siang yang diperuntukan kepada
manusia tetapi kebanyakan manusia berpaling dari ayat-ayat Allah demikian diungkapkan
Ustadz Muh. Amin Sodiq dengan mengambil ayat 31-33suratAl-Ambiya
Post a Comment