إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ
خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ
وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا
قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
فَإِنْ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Hadirin jamaah Jum’at yang
berbahagia!
Pada
kesempatan Jum’at ini, marilah kita merenungkan salah satu firman Allah dalam
surat Al-‘Ankabut ayat 2 dan 3:
Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa salah satu konsekuensi pernyataan
iman kita, adalah kita harus siap menghadapi
ujian yang diberikan Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada kita, untuk membuktikan
sejauh mana kebenaran dan kesungguhan kita dalam menyatakan iman, apakah iman
kita itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar
ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman kita
didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau
menghadapi kesulitan seperti yang digambarkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam
surat Al-Ankabut ayat 10:
Dan di antara
manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia
disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu
sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka
pasti akan berkata: “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih
mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”?
Hadirin jamaah Jum’at yang
berbahagia!
Bila kita sudah
menyatakan iman dan kita mengharapkan manisnya buah iman yang kita miliki yaitu
Surga sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala :
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus
menjadi tempat tinggal. (Al-Kahfi 107).
Maka marilah kita
bersiap-siap untuk menghadapi ujian berat yang akan diberikan Allah kepada
kita, dan bersabarlah kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan
sindiran kepada kita, yang ingin masuk Surga tanpa melewati ujian yang berat.
Apakah kalian
mengira akan masuk Surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa
malapetaka dan keseng-saraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersama-nya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah, sesungguh-nya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah 214).
Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa salam mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang
dulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dituturkan
kepada shahabat Khabbab Ibnul Arats Radhiallaahu anhu.
لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ
لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ
مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَيُوْضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مِفْرَقِ
رَأْسِهِ فَيَشُقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ. (رواه
البخاري).
... Sungguh
telah terjadi kepada orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir
besi (sehingga) terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu
tidak memalingkannya dari agamanya, dan
ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah
dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya... (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari, cet. Dar
Ar-Royyan, Juz 7 hal. 202).
Cobalah kita renungkan, apa yang telah kita lakukan untuk membuktikan keimanan
kita? cobaan apa yang telah kita alami dalam mempertahankan iman kita? Apa yang
telah kita korbankan untuk memperjuangkan aqidah dan iman kita? Bila kita
memper-hatikan perjuangan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam dan
orang-orang terdahulu dalam mempertahankan iman mereka, dan betapa pengorbanan
mereka dalam memperjuangkan iman mereka, mereka rela mengorbankan harta mereka,
tenaga mereka, pikiran mereka, bahkan nyawapun mereka korbankan untuk itu.
Rasanya iman kita ini belum seberapanya atau bahkan tidak ada artinya bila
dibandingkan dengan iman mereka. Apakah kita tidak malu meminta balasan yang besar
dari Allah sementara pengorbanan kita sedikit pun belum ada?
Hadirin sidang Jum’at yang
dimuliakan Allah!
Ujian yang diberikan
oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda.
Dan ujian dari Allah
bermacam-macam bentuknya, setidak-nya ada empat macam ujian yang telah dialami
oleh para pendahulu kita:
Yang
pertama: Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti
perintah Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk menyembelih putranya yang
sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin
tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat
dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini
ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat
106).
Dan di sini kita
melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim Alaihissalam yang benar-benar
sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah
yang sangat berat itupun dijalankan.
Apa yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim Shallallaahu alaihi wa salam dan puteranya adalah pelajaran
yang sangat berat itupun dijalankannya.
Apa yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita,
dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam
kehidupan kita, banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan
dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai
contoh, Allah telah memerintahkan kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan
jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat) secara tegas untuk membedakan
antara wanita Muslimah dan wanita musyrikah sebagaimana firmanNya:
Hai Nabi katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin”
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab, 59).
Namun kita lihat
sekarang masih banyak wanita Muslimah di Indonesia khususnya tidak mau memakai
jilbab dengan berbagai alasan, ada yang menganggap kampungan, tidak modis, atau
beranggapan bahwa jilbab adalah bagian dari budaya bangsa Arab. Ini pertanda
bahwa iman mereka belum lulus ujian. Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
salam memberikan ancaman kepada para wanita yang tidak mau memakai jilbab dalam
sabdanya:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ
أَرَهُمَا؛ قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا
النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ
كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ
رِيْحَهَا. (رواه مسلم).
“Dua golongan dari ahli Neraka yang belum
aku lihat, satu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk
itu mereka memukul manusia, dan wanita yang memakai baju tetapi telanjang
berlenggak-lenggok menarik perhatian, kepala-kepala mereka seperti punuk unta,
mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium wanginya”. (HR. Muslim, Shahih Muslim dengan Syarh An-Nawawi cet. Dar Ar-Rayyan,
juz 14 hal. 109-110).
Yang kedua: Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya
yang terjadi pada Nabi Yusuf Alaihissalam yang diuji dengan seorang perempuan
cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan
kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di
rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf
Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari
godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat
kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya.
Sikap Nabi Yusuf Alaihissalam ini perlu kita ikuti,
terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat pintu-pintu
kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan
obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak
yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan.
Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda, sehingga tak
heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta
dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan lagi. Di antara
akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi, atau
dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti
itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba
memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja
dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti
inilah sikap Nabi Yusuf Alaihissalam perlu ditanamkan dalam dada para pemuda
Muslim. Para pemuda Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi
godaan yang akan menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa salam telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak
ajakan untuk berbuat maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti
sebagaimana sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ
ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ... (متفق عليه).
“Tujuh (orang yang
akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan
selain perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang
perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” (HR. Al-Bukhari Muslim, Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari cet. Daar
Ar-Rayyan, juz 3 hal. 344 dan Shahih Muslim dengan Syarh An-Nawawi cet. Dar
Ar-Rayaan, juz 7 hal. 120-121).
Yang
ketiga: Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit,
ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub
Alaihissalam yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga
tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit
itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk
biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya
meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan
nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada
saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;”
Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Tafsir Ibnu
Katsir, Juz 4 hal. 51).
Dan ketika itu
Allah memerintahkan Nabi Ayyub Alaihissalam untuk menghantamkan kakinya ke
tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air
itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar
tubuhnya. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 52). Begitulah ujian Allah kepada
NabiNya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan
perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub Alaihissalam
membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak
terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak
dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya
dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan
hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami
oleh Nabi Ayyub Alaihissalam ini.
Sidang jamaah rahima kumullah
Yang keempat:
Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi
Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa salam dan
para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi
pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat
yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang
dialami oleh Rasulullah n di akhir
tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan
hubungan apapun dengan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam beserta Bani
Abdul Muththolib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku
itu bersedia menyerahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam untuk dibunuh.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam bersama orang-orang yang membelanya
terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang
hebat. (DR. Akram Dhiya Al-‘Umari, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1
hal. 182).
Juga apa yang
dialami oleh para shahabat tidak kalah beratnya, seperti apa yang dialami oleh
Yasir z dan istrinya Sumayyah dua orang pertama yang
meninggal di jalan dakwah selama periode Mekkah. Juga Bilal Ibnu Rabah
Radhiallaahu anhu yang dipaksa memakai baju besi kemudian dijemur di padang
pasir di bawah sengatan matahari, kemudian diarak oleh anak-anak kecil
mengelilingi kota Mekkah dan Bilal Radhiallaahu anhu hanya mengucapkan “Ahad,
Ahad” (DR. Akram Dhiya Al-Umari, As-Siroh An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1
hal. 154-155).
Dan masih banyak
kisah-kisah lain yang menunjukkan betapa pengorbanan dan penderitaan mereka
dalam perjuangan mempertahankan iman mereka. Namun penderitaan itu tidak
sedikit pun mengendorkan semangat Rasulullah dan para shahabatnya untuk terus
berdakwah dan menyebarkan Islam.
Musibah yang dialami
oleh saudara-saudara kita umat Islam di berbagai tempat sekarang akibat
kedengkian orang-orang kafir, adalah ujian dari Allah kepada umat Islam di
sana, sekaligus sebagai pelajaran berharga bagi umat Islam di daerah-daerah
lain. Umat Islam di Indonesia khususnya sedang diuji sejauh mana ketahanan iman
mereka menghadapi serangan orang-orang yang membenci Islam dan kaum Muslimin.
Sungguh menyakitkan memang di satu negeri yang mayoritas penduduknya Muslim
terjadi pembantaian terhadap kaum Muslimin, sekian ribu nyawa telah melayang,
bukan karena mereka memberontak pemerintah atau menyerang pemeluk agama lain,
tapi hanya karena mereka mengatakan: ( Laa ilaaha illallaahu ) لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ, tidak jauh
berbeda dengan apa yang dikisahkan Allah dalam surat Al-Buruj ayat 4 sampai 8:
“Binasa dan
terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa
yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak
menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman
kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Peristiwa seperti
inipun mungkin akan terulang kembali selama dunia ini masih tegak, selama
pertarungan haq dan bathil belum berakhir, sampai pada saat yang telah
ditentukan oleh Allah.
Kita berdo’a
mudah-mudahan saudara-saudara kita yang gugur dalam mempertahankan aqidah dan
iman mereka, dicatat sebagai para syuhada di sisi Allah. Amin. Dan semoga umat
Islam yang berada di daerah lain, bisa mengambil pelajaran dari berbagai
peristiwa, sehingga mereka tidak lengah menghadapi orang-orang kafir dan selalu
berpegang teguh kepada ajaran Allah serta selalu siap sedia untuk berkorban
dalam mempertahankan dan meninggikannya, karena dengan demikianlah pertolongan
Allah akan datang kepada kita, firman Allah.
“Hai orang-orang
yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad: 7).
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا
وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ. وَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا
بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا
سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ
اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا
وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا
اتَقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ
اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Hadirin jamaah Jum’at yang
dimuliakan Allah!
Sebagai orang-orang yang telah menyatakan iman, kita harus mempersiapkan diri
untuk menerima ujian dari Allah, serta kita harus yaqin bahwa ujian dari Allah
itu adalah satu tanda kecintaan Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa salam :
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ
الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ
فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ. (رواه الترمذي، وقال هذا حديث
حسن غريب من هذا الوجه).
“Sesungguhnya
besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan (ujian), Dan sesungguhnya apabila
Allah mencintai satu kaum Ia akan menguji mereka, maka barangsiapa ridha
baginyalah keridhaan Allah, dan barangsiapa marah baginyalah kemarahan
Allah”. (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata hadits ini hasan gharib dari
sanad ini, Sunan At-Timidzy cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, juz 4 hal. 519).
Mudah-mudahan kita semua diberikan ketabahan dan kesabaran oleh Allah dalam
menghadapi ujian yang akan diberikan olehNya kepada kita. Amin.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ،
يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ،
وَأَصْلِحْ وُلاَةَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ
ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ وَوَفِّقْهُمْ
لِلْعَمَلِ بِمَا فِيْهِ صَلاَحُ اْلإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ.
اَللَّهُمَ لاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لاَ
يَخَافُكَ فِيْنَا وَلاَ يَرْحَمُنَا.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ
عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ.
Beriman Kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa
Sallam
Oleh: Waznin
Ibnu Mahfudl
Jamaah Jum’at rahimakumullah, marilah kita kenang, kita
ingat kembali, dua sifat agung yang merupakan pangkat dan keagungan khusus bagi
umat Islam, bagi hadirin jamaah Jum’at, khusus bagi kita yang beriman. Dua sifat itu adalah syukur dan shabar.
Dari saat yang mulia ini dan
seterusnya sampai akhir hayat, marilah tetap kita sandang dua sifat itu,
“syukur dan shabar”. Dalam kesempatan kali ini, setelah mensyukuri hidayah
Iman, Islam dan Taqwa, marilah kita sedikit membahas “Syukur atas Iman kepada
Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam, serta shabar dalam menegakkan
sunnah beliau.
- Iman kepada Nabi Muhammad
Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah dasar agama yang Maha Benar ini,
dienul Islam, sebagaimana sabda beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam:
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَـهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ...
“Artinya: Islam itu dibangun di
atas lima rukun, bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah, dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya ... (HR. Muslim I/45. Lihat Al-Bukhari I/13).
Setelah beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, maka beriman kepada Rasulullah Muhammad Shallallaahu
alaihi wa Sallam adalah sebagai pondasi yang utama. Sebab seluruh pondasi yang
lainnya dibangun di atas keimanan pada Allah dan Rasul Muhammad Shallallaahu
alaihi wa Sallam. Sehingga orang yang tidak mengimani Rasulullah dan hanya
beriman kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa saja, itu tidaklah cukup, dan batal
Iman yang demikian itutidak sah.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ
أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّة يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَا نِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّارِ. (رواه مسلم)
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada
di tanganNya! Tidak seorangpun yang mendengar tentang aku dari umat (manusia)
ini, seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman
kepada yang aku diutus karenanya, kecuali ia termasuk menjadi penduduk Neraka”. (HR. Muslim I/34).
Itulah pentingnya beriman kepada
Rasul yang merupakan pondasi agama dan amal-amal ibadah. Sehingga tanpa
mengimani Rasul alias ingkar kufur pada Rasul, maka gugurlah amal kebaikan
serta jauh dari rahmat Allah.
Allah berfirman:
“Dan barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang
merugi”. (Al-Maidah: 5)
“Dan barangsiapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahanam, mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya”.
Bahkan mereka akan ditimpa
musibah dan adzab yang pedih, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat
An-Nur : 63.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”.
Oleh sebab itu maka hendaklah kita senantiasa bersyukur kepada Allah
atas hidayah Iman kita kepada Rasulullah Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam
dengan bersabar dalam mengikuti dan mentaati beliau.
- Siapakah Rasulullah
Muhammad itu?
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah
manusia biasa, bukan malaikat dan bukan pula anak Tuhan atau lain-lainnya.
Beliau secara manusiawi sama dengan kita seluruh umat manusia.
Terbukti beliau terlahir dari jenis manusia, ayahanda beliau serta ibunya
adalah Abdullah bin Abdul Muthallib, serta ibundanya bernama Aminah, keduanya
dari suku Quraisy di Makkah Mukarramah keturunan Nabiyullah Ismail bin Nabi
Ibrahim ‘alaihimas salam.Sebagai rahmat dan jawaban atas permohonan
Abul Anbiya’ Ibrahim alaihis salamyang tercantum dalam firman
Allah:
Artinya : “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul
dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta
mensucikan mereka. Sesunggu-hnya Engkaulah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Al-Baqarah: 129).
Allah menegaskan agar beliau
menyatakan tentang diri beliau, dengan firmanNya dalam surat Al-Kahfi ayat 110
dan ayat-ayat yang lain:
“Katakan, sesungguhnya aku ini
hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku”(Al-Kahfi : 110)
“Katakan: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa
per-bendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib
dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak
mengetahui kecuali yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang
yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)? (Al-An’aam: 50).
Rasulullah juga berwasiat agar beliau tidak dihormati secara berlebihan,
seperti orang-orang Nashara menghormati Nabi Isa 'Alaihis Salam, beliau
melarang ummatnya menjadikan kuburan beliau sebagai tempat sujud, melarang
menggelari beliau dengan gelaran yang berlebihan atau memberikan penghormatan
dengan berdiri ketika beliau hadir.
Dari sahabat Amr Radhiallaahu
anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
وَلاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ. فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلَهُ. (رواه البخاري)
“Janganlah
kamu memuji aku (berlebihan) sebagaimana orang Nasrani memuji Isa Ibnu Maryam.
Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan
RasulNya”. (HR.
Al-Bukhari)
Abu Hurairah Radhiallaahu anhu
meriwayatkan, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُواْ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا. وَلاَ تَجْعَلُوْا
قَبْرِيْ عِيْدًا (رواه أبو داود).
“Janganlah engkau jadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan
(sepi dari ibadah) dan jangan engkau jadikan kuburanku sebagai tempat
perayaan” (HR. Abu Dawud).
Dari Abu Hurairah Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ تَتَّخِذُواْ قَبْرِي عِيْدًا،
وَلاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا، وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَصَلُّوْا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ. (رواه أحمد)
“Jangan engkau jadikan kuburanku
sebagai tempat perayaan, dan janganlah engkau jadikan rumah-rumah kamu sebagai
kuburan dan dimanapun kamu berada (ucapkanlah do’a shalawat kepadaku) karena
sesungguhnya do’a shalawatmu sampai kepadaku”. (Diriwayat-kan
Imam Ahmad).
- Cara dan konsekwensi beriman kepada Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah
sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala,artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil
yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi
mereka, segala yang baik dan mengharamkan mereka dari segala yang buruk
dan membuang bagi mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”). (Al-A’raf:
157).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ
الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah jum’at rahima kumullah
dalam khutbah yang kedua ini:
Marilah kita mempertebal Iman dan
Taqwa kita kepada Allah juga memperdalam Iman kepada Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Sallam sekaligus melaksanakan konsekuensinya.
Yaitu kita bersungguh-sungguh
agar melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
Meyakini
dengan penuh tanggung jawab akan kebenaran Nabi Muhammad Shallallaahu
alaihi wa Sallam dan apa yang dibawa oleh beliau Shallallaahu alaihi wa
Sallam sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menandaskan tentang ciri
orang bertaqwa:
“Dan orang-orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Az-Zumar : 33).
Ikhlas mentaati Rasul Shallallaahu
alaihi wa Sallam dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh
larangan beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam .Sebagaimana
janji Allah :
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang” (An-Nuur: 54).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.(An-Nisaa’: 65).
Mencintai beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam, keluarga, para
sahabat dan segenap pengikutnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallambersabda:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ اَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخاري ومسلم)
"Tidaklah beriman seseorang (secara sempurna)sehingga aku lebih
dia cintai daripada orang tuanya, anaknya dan
seluruh manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Membela dan memperjuangkan ajaran
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam serta berda’wah demi membebaskan ummat
manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari ke zhaliman menuju keadilan,
dari kebatilan kepada kebenaran, serta dari kemaksiatan menuju
ketaatan.Sebagaimana firman di atas:
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (Al-A’raaf:
157).
Meneladani akhlaq dan kepemimpinan
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam setiap amal dan tingkah laku,
itulah petunjuk Allah:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. (Al-Ahzab:21).
Memuliakan dengan banyak
membaca shalawat salam kepada beliau Shallallaahu alaihi
wa Sallam terutama setelah disebut nama beliau.
رَغِمَ
اَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ (رواه الترميذي)
“Merugilah
seseorang jika disebut namaku padanya ia tidak membaca shalawat
padaku.” (HR. At-Tirmidzi)
Waspada dan berhati-hati dari
ajaran-ajaran yang menyelisihi ajaran Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa
Sallam seperti waspada dari syirik, tahayul, bid’ah, khurafat, itulah
pernyataan Allah:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi ajaran Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (An-Nur:
63).
Mensyukuri hidayah keimanan kepada Allah dan RasulNya dengan
menjaga persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan dengan berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-shahihah. Itulah tegaknya agama:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah karenanya”.
(Asy-Syura: 13)
Hamba Allah Dan Ummat Nabi Muhammad SAW
Sudah menjadi kewajiban seorang Muslim memiliki dua kesadaran, kesadaran
sebagai hamba Allah Ta’ala dan kesadaran sebagai umat Muhammad Rasulullah
Shallallaahu alaihi wasallam , Jika kesadaran itu hilang dari jiwa
seorang Mukmin maka tindakan dan amalan akan ngawur dan sembrono yang
mengakibatkan Allah Ta’ala tidak akan memberi ganjaran apapun yang didapat
hanyalah siksa.
Kesadaran pertama, kesadaran kita sebagai hamba Allah Ta’ala yang kita
tampakkan dalam setiap aktifitas sehari-hari dalam bahasa agamanya disebut (إِظْهَاُر الْعُبُوْدِيَّةِ) Sebagai misal menampakkan kehambaan kepada Allah. Contohnya
jika kita mau makan meskipun seolah-olah padi kita tanam disawah kita sendiri,
beras kita masak sendiri maka ketika mau makan disunnahkan berdo’a:
اَللَّهُمَّ
بَاِركْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا مِنْهُ. (صحيح الترمذي، 3/158).
“yaa Allah berilah kami
keberkahan darinya dan berilah kami makan darinya”
Berarti Allah Ta’ala yang memberi
rizki, bukan sawah atau lainnya. Begitu pula kita punya mobil atau kendaraan
lainnya, meskipun kita membeli kendaraan dengan usaha sendiri, dengan uang
sendiri, namun ketika mau mengendarai disunnahkan berdo’a:
بِسْمِ اللهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
سُبْحَانَ اللهِ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ
وَأَنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. (صحيح الترمذي، 3/156).
Ikhwan fillah
rahimakumullah
Itulah contoh bahwa setiap
saat kita harus nyatakan kehambaan kepada Allah Ta’ala, jika pernyataan
itu hilang, maka alamat iman telah rusak di muka bumi ini dan akan hilang
kemudian muncul kesombongan dan keangkuhan, hal ini telah terjadi pada zaman
Nabi Musa p yang ketika itu pengusanya
lalim dan sombong sehingga lupa akan status sebagai hamba, bahkan si raja
itu begitu sangat sombongnya sampai ia memproklamirkan dirinya sebagai tuhan,
dia menyuruh kepada rakyatnya agar menyembah kepadanya. Dialah raja Fir’aun.
Kenyataan di atas sudah tergambar
pada zaman sekarang, begitu banyak orang-orang modern yang seharusnya sebagai
hamba Allah Ta’ala namun banyak diantara mereka yang mengalihkan penghambaan
kepada harta, wanita dan dunia. Setiap hari dalam benak mereka hanya dijejali
dengan berbagai macam persoalan dunia, mencari kenikmatan dan kepuasan dunia
saja tanpa memperhatikan kepuasan akhirat padahal kenikmatan akhirat lebih baik
dari kenikmatan dunia, bahkan lebih kekal abadi.
Ihwan Fillah rahimakumullah
Allah Ta’ala menciptakan manusia
bukan untuk menumpuk harta benda tapi Allah Ta’ala menciptakan manusia dan jin
hanya untuk menyembah kepadaNya.
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu.” (Adz-Dzariyat:
56).
Makna penghambaan kepada Allah
Ta’ala adalah mengesakannya dalam beribadah dan mengkhusus-kan kepadaNya dalam
berdo’a, tentang hal ini Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya
Syarah Tsalasah Usul, memaparkan persoalan penting yang harus diketahui oleh
kaum Muslimin:
اْلأُوْلَى اَلْعِلْمُ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، مَعْرِفَةُ
نَبِيِّهِ وَمَعْرِفَةُ دِيْنِهِ اْلإِسْلاَمِ بِاْلأَدِلَّةِ. الثَّانِيَةُ
اَلْعَمَلُ بِهِ. الثَّالِثَةُ اَلدَّعْوَةُ إِلَيْهِ.
“Pertama adalah ilmu, yaitu
mengenal Allah, mengenal Rasul dan Dienul Islam dengan dalil dalilnya kedua
mengamalkannya ketiga mendakwakannya.”
Ikhwan fillah rahimakumullah.
Syaikh Muhammad At-Tamimi dalam
kitab Tauhid, membe-rikan penjelasan bahwa ayat di atas, menunjukkan
keistimewaan Tauhid dan keuntungan yang diperoleh di dalam kehidupan dunia dan
akhirat. Dan menunjukkan pula syirik adalah perbuatan dzalim yang dapat
membatalkan iman jika syirik itu besar, atau mengurangi iman jika syirik asghar
(syirik kecil).
Akibat buruk orang yang
mencampuradukan keimanan dengan syirik disebutkan Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik tetapi Dia mengampuni
segala dosa selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki.”
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُوْ مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ
النَّارَ. (البخاري عن ابن مسعود).
“Barangsiapa yang mati dalam
keadaan menyembah selain Allah niscaya masuk kedalam Neraka.”
مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ
الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ. (مسلم عن جابر).
“Barangsiapa menemui Allah Ta’ala
(mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun pasti masuk Surga, tetapi
barangsiapa menemuinya (mati) dalam keadaan berbuat syirik kepadaNya pasti
masuk Neraka.”
Ihwan fillah rahimakumullah.
Demikianlah seharusnya, kaum
Muslimin selalu sadar atas statusnya yaitu status kehambaan terhadap Allah
Ta’ala. Dan cara menghamba harus sesuai dengan manhaj yang shohih tanpa terbaur
syubhat dan kesyirikan. Jadi inti penghambaan adalah beribadah kepada Allah
Ta’ala dan tidak melakukan syirik dengan sesuatu apapun.
Kesadaran kedua sebagai ummat
Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam
Kesadaran sebagai umat rasul,
adalah menyadari bahwa amalan-amalan kita akan diterima oleh Allah Ta’ala
dengan syarat sesuai sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam .
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan konsekuensi mengenal
Rasul adalah menerima segala perintahnya bahwa mempercayai apa yang
diberitakannya, mematuhi perintahnya, menjahui segala larangn-nya,
menetapkan perkara dengan syariat dan ridha dengan putusannya.
Pastilah dari kalangan ahli
sunnah waljama’ah sepakat untuk mengimani dan menjalankan apa-apa yang
diperintahnya, menjauhi larangannya. Tidak diterima ibadah seseorang tanpa
mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sebagaimana
hadits berikut:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (مسلم).
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dalam agama yang tidak ada
perintah dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim).
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ. (البخاري ومسلم).
“Barangsiapa yang mengada-ada
dalam perkara agama kami dan tidak ada perintah dari kami maka ia
tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Melihat hadits di atas, setiap
kaum Muslimin dalam aktifitasnya harus merujuk kepada apa yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam , baik ucapan, perbuatan maupun taqrir
atau ketetapan.
Ihwan fillah Rahimakumullah.
Ingatlah banyak dari kaum
Muslimin, yang menyalahi man-haj Rasulullah, dengan mengatasnamakan Islam. Dan
kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan semacam itu menjadi tertolak
karena tidak sesuai dengan sunnah Nabi. Misalnya mereka menyalahi manhaj
dakwah Salafus Shalih, Contohnya berdakwah dengan musik, nada dan dakwa,
sandiwara, fragmen, cerita-cerita, wayang dan lain-lain.
Begitu juga dengan Assyaikh Abdul Salam bin Barjas bin Naser Ali Abdul
Karim dalam bukunya Hujajul Qowiyah menukil perkataan Al-Ajurri dalam kitab
As-Syari’ah bahwa Ali Ra dan Ibnu Masu’d berkata:
لاَ يَنْفَعُ قَوْلٌ إِلاَّ بِعَمَلٍ وَلاَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ
إِلاَّ بِنِيَّةٍ وَلاَ نِيَّةٌ إِلاَّ بِمُوَافَقَةِ السُّنَّةِ.
“Tidak bermanfaat suatu perkataan
kecuali dengan perbuatan dan tidak pula perkataan dan perbuatan kecuali dengan
niat dan niat pun tidak bermanfaat kecuali sesuai dengan sunnah.”
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى
وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ،
وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ
الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Dan sebaik-baik perkataan adalah
Kitabullah Yang Maha Agung dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallaahu alaihi wa Sallam , sejelek-jelek urusan adalah perkara yang baru
dan setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah sesat,setiap kesesatan adalah di Neraka. (HR. An-Nasa’i).
Ihwan Fillah rahimakumullah.
Demikianlah dua kesadaran itu
harus di ingat setiap saat karena merupakan sumber petunjuk dalam kehidupan.
Dengan menyadari dua kesadaran yaitu menjalankan syariat sesuai manhaj ahlul
hadits tanpa tercampur bid’ah dan kesyirikan. Dengan demikian mengikuti manhaj
Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam dan manhaj para sahabat
sesudahnya yaitu Al-Qur‘an yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasulnya, yang
beliau jelaskan kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits shahih
Demikianlah dua kesadaran itu harus di ingat setiap saat, yaitu kesadaran
menegakan kalimah tauhid berdasarkan manhaj ahlul hadits dan memerintahkan umat
Islam agar berpegang teguh kepada keduanya. Sebagai akhir kata kami tutup
dengan hadits:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا،
كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَى الْحَوْضَ.
“Aku tinggalkan padamu dua
perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila berpegang teguh kepada keduanya
yaitu Kitabullah dan sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanya
mengantarkanku ke telaga (diSurga).” (Dishahikan oleh al-albani dalam kitab
Shahihul jami’)
Wallahu A’lamu bis shawab
Akhiru da’wana Walhamdulillahi Rabbil Alamin